Tokoh Budaya Karawang Dalang Suhendra Pajar Supriadi Ungkap Makna Mendalam di Balik Tradisi Ruwatan Wayang

KARAWANG, INFONEWS TERKINI 

Budaya ruwatan atau ngaruwat yang dahulu menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Sunda, kini mulai jarang dilakukan. Hal itu diungkapkan oleh Soehendra Supriyadi atau yang akrab disapa Dalang Pajar, seorang tokoh budaya Sunda asal Karawang yang juga berlatar belakang jurnalis dan kini aktif melestarikan seni wayang golek.

Menurut Dalang Pajar yang ditemui di Aula Kantor Desa Cirejag, Kecamatan Jatisari, Karawang mengungkapkan tradisi ruwatan dahulu banyak digelar di desa-desa, tempat keramat, dan lokasi-lokasi sakral, terutama menjelang musim tanam. Melalui pagelaran wayang golek, masyarakat menggelar ritual ruwatan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keseimbangan alam namun ini semua dikembalikan kepada Allah SWT sang maha pencipta alam.

“Dulu tahun 1990-an sampai awal 2000-an, ruwatan itu masih sering dilakukan. Tapi sekarang sudah sangat jarang. Padahal, maknanya dalam sekali,” ujar Dalang Pajar saat diwawancarai, Senin (6/10/2025).

Ia menjelaskan, kata ruwat berasal dari makna “kuat”, sementara ngaruwat berarti “menguatkan”.

“Yang dikuatkan itu keyakinan—keyakinan terhadap keseimbangan alam dan makhluk-makhluk gaib yang diyakini menjaga bumi,” jelasnya.

Menurutnya, para petani zaman dahulu percaya bahwa dengan menggelar ruwatan, hasil panen mereka akan terhindar dari gangguan seperti hama tikus, lolodoh, atau penyakit tanaman lainnya. Ritual ini dipimpin oleh dalang sebagai perantara doa dan simbol komunikasi dengan kekuatan alam.

“Saya sudah beberapa kali melakukan ruwatan di Karawang, seperti di Desa Tegalega, Kecamatan Ciampel, Karawang dan sekitarnya hasilnya nyata, sawah yang tadinya sering diserang tikus jadi aman setelah diruwat,” tambahnya.

Namun, Dalang Pajar menegaskan bahwa semua kekuatan tetap bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.

“Budaya ruwatan ini bukan menyembah selain Allah, tapi mengikuti tata cara adat dalam berdoa. Gusti Allah tetap pusatnya, tapi leluhur kita punya cara untuk memohon melalui adat,” tegasnya.

Terkait pandangan sebagian masyarakat yang menilai ruwatan bercampur dengan agama, Dalang Pajar menilai hal itu perlu dipahami secara bijak.

“Budaya buhun (adat lama) jangan dicampur dengan agama. Keduanya punya ranah berbeda. Kalau dicampur, nanti bisa terjadi gesekan. Ini soal keyakinan adat, bukan ritual agama,” ujarnya.

Sebagai penutup, Dalang Pajar berharap agar generasi muda bisa memahami dan melestarikan kembali budaya ruwatan sebagai bagian dari identitas Sunda.

“Budaya ini bukan sekadar tontonan, tapi tuntunan hidup. Ruwatan itu doa, itu kekuatan alam yang diwariskan leluhur. Kalau pun tidak dilakukan seperti dulu, setidaknya jangan dilupakan,” tutupnya.

Red : Eghi Alam

 

Tags:
Anda belum dapat berkomentar. Harap Login terlebih dahulu

Komentar

  • Belum ada komentar !