- Oleh Infonews871
- 14, Dec 2025
KARAWANG-INFONEWS-TERKINI-Personifikasi Kepemimpinan Karang Taruna dalam Menjaga Toleransi Antar umat Beragama
Ketua umum karang taruna karawang Dr. (C). Dhani Sudirman, S.T., S.E., M.M. Menyampaikan Dalam kajian filsafat kebudayaan, kepemimpinan tidak hanya dipahami sebagai relasi kekuasaan atau fungsi struktural, melainkan sebagai proses pewarisan dan perwujudan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sosial. Ernst Cassirer, seorang filsuf kebudayaan, menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk pencipta dan pemakna simbol. Dalam konteks ini, pemimpin berperan sebagai simbol hidup yang mewujudkan nilai moral dan etika masyarakatnya. Kepemimpinan yang kehilangan makna simbolik akan kehilangan legitimasi kulturalnya.
Pandangan tersebut menemukan relevansinya dalam peran Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan berbasis masyarakat. Karang Taruna tidak sekadar menjalankan fungsi sosial, tetapi menjadi ruang kebudayaan tempat nilai toleransi, persaudaraan, dan gotong royong dipraktikkan. Koentjaraningrat menegaskan bahwa kebudayaan mencakup sistem nilai, tindakan, dan hasil karya manusia. Dengan demikian, toleransi antarumat beragama bukan hanya gagasan normatif, tetapi harus hadir dalam tindakan nyata sehari-hari.
Melalui kegiatan sosial lintas agama, kerja bakti bersama, peringatan hari besar nasional, hingga keterlibatan aktif dalam menjaga harmoni lingkungan, Karang Taruna mempersonifikasikan kepemimpinan kultural yang hidup. Kepemimpinan semacam ini tidak bersifat instruktif, melainkan partisipatif dan teladan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menempatkan pemimpin sebagai pamong: ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Pemimpin bukan sekadar pengarah, tetapi penggerak kesadaran bersama.
Momentum Hari Raya Natal 2025 dapat dimaknai sebagai ruang refleksi kebudayaan tentang nilai kasih dan perdamaian sebagai prinsip universal. Natal tidak hanya menjadi ritus keagamaan umat Kristiani, tetapi juga pesan kemanusiaan yang melampaui batas identitas. Dalam perspektif filsafat kebudayaan, sikap saling menghormati perayaan keagamaan merupakan bentuk kematangan budaya dan kedewasaan kepemimpinan sosial.
Berlandaskan Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, Karang Taruna menunjukkan bahwa toleransi antarumat beragama dapat tumbuh subur melalui kepemimpinan yang berakar pada kebudayaan dan keteladanan. Ketika pemuda mampu mempersonifikasikan nilai persatuan dan kemanusiaan, maka harmoni sosial bukan sekadar slogan, melainkan realitas yang hidup dalam praktik masyarakat sehari-hari.
Dalam kajian filsafat kebudayaan, kepemimpinan tidak hanya dipahami sebagai relasi kekuasaan atau fungsi struktural, melainkan sebagai proses pewarisan dan perwujudan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sosial. Ernst Cassirer, seorang filsuf kebudayaan, menyebut manusia sebagai animal symbolicum, makhluk pencipta dan pemakna simbol. Dalam konteks ini, pemimpin berperan sebagai simbol hidup yang mewujudkan nilai moral dan etika masyarakatnya. Kepemimpinan yang kehilangan makna simbolik akan kehilangan legitimasi kulturalnya.
Pandangan tersebut menemukan relevansinya dalam peran Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan berbasis masyarakat. Karang Taruna tidak sekadar menjalankan fungsi sosial, tetapi menjadi ruang kebudayaan tempat nilai toleransi, persaudaraan, dan gotong royong dipraktikkan. Koentjaraningrat menegaskan bahwa kebudayaan mencakup sistem nilai, tindakan, dan hasil karya manusia. Dengan demikian, toleransi antarumat beragama bukan hanya gagasan normatif, tetapi harus hadir dalam tindakan nyata sehari-hari.
Melalui kegiatan sosial lintas agama, kerja bakti bersama, peringatan hari besar nasional, hingga keterlibatan aktif dalam menjaga harmoni lingkungan, Karang Taruna mempersonifikasikan kepemimpinan kultural yang hidup. Kepemimpinan semacam ini tidak bersifat instruktif, melainkan partisipatif dan teladan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menempatkan pemimpin sebagai pamong: ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Pemimpin bukan sekadar pengarah, tetapi penggerak kesadaran bersama.
Momentum Hari Raya Natal 2025 dapat dimaknai sebagai ruang refleksi kebudayaan tentang nilai kasih dan perdamaian sebagai prinsip universal. Natal tidak hanya menjadi ritus keagamaan umat Kristiani, tetapi juga pesan kemanusiaan yang melampaui batas identitas. Dalam perspektif filsafat kebudayaan, sikap saling menghormati perayaan keagamaan merupakan bentuk kematangan budaya dan kedewasaan kepemimpinan sosial.
Berlandaskan Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, Karang Taruna menunjukkan bahwa toleransi antarumat beragama dapat tumbuh subur melalui kepemimpinan yang berakar pada kebudayaan dan keteladanan. Ketika pemuda mampu mempersonifikasikan nilai persatuan dan kemanusiaan, maka harmoni sosial bukan sekadar slogan, melainkan realitas yang hidup dalam praktik masyarakat sehari-hari.
red. Niko
Belum ada komentar.